Daftar Isi
1. Keadilan Illahi
2. Sahabat, Jangan Kecewa Denganku
3. Cinta dengan Kontrol Iman
4.Perjalanan Menuju Cinta
5. Tiga Pertanyaan Buat Ivi Zakia
6.Syukur Dibalik Musibah
7. Faisah dan Faizal, Anak Kembar
1. Keadilan Illahi
Sinar matahari yang cerah menerangi sekolahku yang tua. Dindingnya terbuat dari tembok cor. Bila hujan mudah jadi lembab dan sebahagian dindingnya sudah berlobang. Beberapa rumah disekitarnya terlihat bagus, tapi bangunan sekolah tak seindah itu, tampak begitu menyedihkan.
Sekolah itu adalah sekolahku SD Negeri 04 Kubu Rajo, Lima Kaum. Namun semangat yang tinggi membuat aku dan beberapa teman melupakan hal yang demikian. Di sanalah kami memperoleh pengalaman belajar dari guru – guru yang berhati lembut, pintar dan penuh kasih sayang. Mereka berharap agar kami berhasil kelak. “Kalian adalah tubuhku yang selalu tegar dalam kesulitan, Kalian adalah sayapku yang dapat terbang mencari ilmu pengetahuan, dan kalian adalah jantungku yang selalu berdetak kencang menuju kesuksesan.” Itulah kata-kata terakhir dari kepala sekolah saat menyampaikan pidato perpisahan kepada kami. Semua jadi tersentuh mendengar, beberapa teman yang berperasaan halus matanya berkaca-kaca dan meneteskan air mata. Kata-kata tersebut tidak akan terlupakan bagiku sampai dewasa kelak.
Selesai acara perpisahan saya pulang dengan ayah, namun di atas motor selalu terbayang suasana perpisahan diwarnai tangis perpisahan, canda, dan tawa, bersama guru dan teman-teman. Aku terdiam selama dibonceng ayah dan melihat aku terdiam ayah mengajakku pergi jalan- jalan. Mungkin agar aku bisa kembali tersenyum dan bersemangat. Secara berangsur-angsur aku mencoba melupakan suasana perpisahan, karena aku juga tidak mau berlarut dalam kesedihan.
Sampai di rumah, azan maghrib terdengar berkumandang. Aku bergegas untuk pergi ke mesjid. ”Ayah, Ibu, aku pergi ngaji dulu ya..!”,seruku sambil berlari keluar. Mengaji Alquran dilaksanakan selesai shalat. Kami berkumpul untuk memulai mengaji. ”Assalamu’alaikum…!”sahut pak ustadz memulai pembicaraan,”Hari ini kita tidak membaca Al –Quran, tapi ustadz akan memberikan kalian kata-kata nasehat,bagaimana ? ,setuju ?” tanya pak ustadz. Dengan serempak kami menjawab,”setuju pak!!!”. Pak ustadz pun memulai pembicaraan, kata demi kata disampaikan.
Namun terakhir pak ustadz berkata,”Kita harus yakin dengan ke Maha Adilan Allah kepada makhlukNya, karena Allah tidak akan memandang makhlukNya dari segi fisik, materi dan keturunan, tapi Allah hanya menilai hambaNya dari iman dan ketaqwaannya, dan hanya ridhaNyalah yang harus kita cari”, “mungkin hanya itu yang dapat saya sampaikan malam ini, berhubung hari sudah semakin gelap, saya akhiri pembelajaran kita pada hari ini dengan bersyukur, mengucapkankan AlhamduliIllahirabbil’alamiin” kata pak ustadz mengakiri pengajian.
Akupun pulang bersama dengan teman. Namun di tengah perjalanan aku teringat dengan kata terakhir pak ustadz tadi,”kalau Tuhan adil kenapa Ia menciptakan manusia itu berbeda – beda yaa? Tanyaku sendiri dalam hati. Tak lama kemudian aku melihat seorang gadis malang, yang sebaya denganku, kedua orang tuanya telah tiada. Ia tinggal dengan bibinya, kehidupan mereka sangat memprihatinkan ,yang paling mengharukan lagi ia buta,kedua matanya titak dapat melihat ,”Sungguh malang nasibmu sobat” kataku sambil memperhatikannya. Gadis itu berjalan dengan tongkat kecilnya, menuju mesjid untuk melaksanakan shalat,”Sungguh mulia dan tabahnya ia dalam menghadapi cobaan hidup ini.”pikirku sendiri. Perasaan bimbang tentang keadilan Tuhan mulai terasa lagi,” Kalau Tuhan adil kenapa Ia mengambil nikmatNya atas orang – orang yang beriman padaNya?” hatiku kacau, syetan mulai merasuki hatiku, ia selalu menggodaku, sampai aku tidur terlelap.
Hari baru datang, cuaca pagi sangat cerah, suasana sejuk dan menyegarkan pikiran. Setelah senam pagi aku duduk di beranda. Aku melihat sebuah pohon beringin besar di depan rumah, tiba-tiba pandanganku teralihkan pada buah semangka, dengan buah yang besar-besar bergelantungan. ”UUuups”sorak ayah mengagetkanku, “Sedang ngapain kamu? tanya ayah “nggak ada kok aku lagi duduk – duduk melihat pemandangan”jawabku sambil bergurau.” Ya udah ,oh iya nanti kamu mau nggak pergi ke sawah?” tanya ayah. “OK bos “jawabku sambil mengacungkan jempol. Kadang-kadang ayah dan aku seolah-olah berteman,ini strategi ayah dalam mendidik anaknya. Setelah jam dinding menunjukkan angka delapan aku dan ayah mempersiapkan bekal untuk ke sawah, sebab sawah kami berjarak 1 km dari rumah, setelah semuanya selesai kami memulai langkah dengan mengucapkan, ”bismiIllahirrahmanirrahim”.
Dalam perjalanan ke sawah, kami berhenti pada sebuah rumah bagus. Rumah itu milik Pak Syawal. Namun ia terkenal sebagai orang yang angkuh di kampung. Kabar dari mulut ke mulut mengatakan bahwa ia juga orang yang agak durhaka pada orang tuanya. Namun mengapa ia bisa menjadi orang terkaya di kampung, hartanya berlimpah, sahamnya ada dimana-mana. Melihat itu aku jadi penasaran dan kembali menanyakan tentang keadilan Tuhan, lalu aku menanyakannya pada ayah,”Ayah kenapa Pak Syawal orang yang durhaka pada orang tuanya, sehingga menyebabkan orang tuanya meninggal karena dia, dan dia jahat ,tetapi ia masih diberikan Allah harta yang berlimpah dan segala kecukupan lainnya?”,”Allah itu nggak adil ya yah..?”tanyaku lagi. Namun ayah tidak menjawab sedikitpun,ia malah senyum kepadaku,hal itu membuatku semakin ragu dan penuh penasaran, namun aku berusaha menyembunyikan perasaan penasaran dan melanjutkan perjalanan.
Setelah sampai di sawah kami melakukan pekerjaan, dengan gigih aku dan ayah mencangkul, aku sendiri dapat menyelesaikan 1 petak kecil, namun dalam hal mencangkul memang ayah paling jago, ayah sudah mencangkul dua petak sawah. Setelah agak lama mencangkul kami istirahat di bawah pohon beringin dengan batang yang besar dan rindang. Aku memandangi pohon itu, dan aku teringat dengan pohon semangka yang tumbuh di depan rumahku. Ada perbedaan kembali, ini membuatku kembali meragukan keadilan Tuhan, Penasaran…Penasaran itulah yang selalu terngiang dalam benakku,aku bertanya lagi pada ayah.
”Ayah kenapa Tuhan menciptakan pohon beringin yang besar ini, tetapi hanya memiliki buah yang kecil, sedangkan pohon semangka kita di rumah, pohonnya tidak sebesar ini tapi buahnya lebih besar dari ini, tuhan itu tidak adil ya yah!” tanyaku ingin mencari jawaban atas semuanya,tiba – tiba,”Ooops…,hati – hati kalau ngomong”,kata ayah membuatku terkejut,namun pada saat bersamaan jatuh buah beringin tepat mengenai kepalaku dan ayah berkata lagi,”Lihat itu”,sambil mengambil buah itu,” Seandainya pohon beringin yang besar ini juga memiliki buah yang besar pula, apa jadinya kamu? Mungkin kepalamu sudah hancur dibuatnya. Tadi ayah sengaja diam, agar kamu mengerti sendiri, namun agar kamu tidak salah pikiran biar ayah jelaskan” kata ayah, “Allah itu adil kepada makhlukNya, seandainya pohon besar itu buahnya juga besar, tentu kita akan sulit menggapainya, karena itu Allah menciptakan pohon kecil dengan buah yang besar, agar kita mudah mendapatkannya. Begitu Allah Maha Adil terhadap ciptaanNya, Yakinlah nak…”Allah pasti selalu memberikan apa yang terbaik bagi kita, tapi kitalah yang tidak mau mensyukurinya,untuk itu kita wajib melihat keadilan Allah ,agar kita selalu berhusnuzan, berbaik sangka padaNya.” Mendengar penjelasan ayah, aku kaget dan merasa bersalah, karena aku telah berburuk sangka pada Allah, setelah sampai di rumah aku langsung shalat dan bertaubat pada allah,”Yaa Allah, maafkanlah hambaMu ini yang telah suuzan, berburuk sangka padaMu.
Kemudian,sore itu hatiku terasa reda, segala rasa penasaran sudah terjawab,.Tapi saat aku jalan – jalan sore, aku teringat dengan gadis buta yang malang. Orang memanggilnya Rina. Aku sudah yakin Allah Maha Adil, tapi aku masih ingin mendapatkan penjelasan darinya dan aku ingin tahu dengan keadaan yang sebenarnya.
Aku langsung menuju ke rumah Rina, setelah sampai di rumahnya, ”assalamu’alaikum”aku berseru memberi salam, ”wa’alaikumussalam” jawabnya sambil tersenyum lebar, Aku tak tahu ia senyum pada siapa, ”oh,maaf aku mengganggu mu Rin !”,”nggak apa-apa kok memangnya ada apa?” tanya Rina dengan ramah,”Begini aku seorang pemuda kecil yang sedang mencari tahu tentang keMaha Adilan Allah pada makhluknya, maaf ya…! Kalau aku mengganggu perasaanmu, apakah kamu merasa Allah itu berlaku Adil padamu?, dengan kondisi seperti ini?” tanya ku sambil merasa takut salah.
Namun Rina terdiam, seperti memikirkan sesuatu,namun tiba – tiba air matanya keluar membasahi wajahnya yang putih bersih itu,aku jadi merasa bersalah ,aku bingung dan mulai panik. Namun Rina tetap terdiam, kira-kira lima menit lamanya ia terdiam, tak bersuara dan bergerak. Tiba-tiba saat aku menundukkan kepala Rina mulai bersuara dengan suara yang mantap dan jarinya menunjuk tepat di dadaku ,”Kau salah sobat,kau tidak tahu keadilan Allah padaku…!”Aku terkejut setengah mati. Dari suasana hening, tiba-tiba ia menunjukku dengan jarinya dan bersuara memekik ke telingaku. Dan ia berkata lagi “jika aku tidak buta aku pasti tidak akan sanggup hidup di dunia ini. Kedua orang tuaku sudah tiada, ditambah kehidupanku yang miskin, sehingga dengan keadaan begini aku tidak akan merasakan kesusahan yang melanda . Aku tidak akan merasa iri dengan orang lain karena aku tidak melihat dia bahagia. Bagiku semuanya sama, sama gelapnya. Dan sekarang hanya ada satu penunjuk dalam hidupku, penerang setiap langkahku, yang memberikan pandangan syurga padaku. Sehingga orang – orang menganggap hidupku bagai di penjara. Tapi bagiku hidup seperti ini adalah Syurga yang indah, ia adalah cahaya Allah SWT. ”Mendengar kata - katanya, merinding semua bulu romaku, dan tanpa aku sadari air mataku pun menetes, membasahi pipiku.
Azan zuhur berkumandang, Rina menghapus air matanya, ”Maaf ya, aku harus ke mesjid, waktu shalat telah masuk”,”terima kasih banyak ya Rin !” kataku sambil menolong mengambilkan tongkatnya yang jatuh. “Terima kasih kembali” jawabnya kembali senyum dengan manis, “sungguh mulia dan tabah hatimu. Walau pun buta kau tetap bersemangat dan menyempatkan shalat berjamaah di mesjid ,hanya dengan modal tongkat kecil yang selalu kau bawa.”
Malampun datang tanpa diundang, tiba saatnya bagiku untuk belajar mengaji di mesjid,”ayah ..ibu.., aku pergi ke mesjid ya.., assalamu’alaikum!” seruku sambil berlarian ke mesjid,” setelah sampai di mesjid, ternyata tinggal aku yang belum datang, teman-teman menunggu kedatanganku.”Ohh…, maaf ya.., aku terlambat!” seruku dengan nada bersalah. Pengajian kemudian dimulai oleh pak ustadz.
Beberapa saat setelah itu, semuanya boleh pulang. Tapi aku sengaja menunggu pak ustadz. Ada yang ingin aku ceritakan pada pak ustadz,”begini pak ustadz” lalu aku ceritakanlah semua kejadian yang aku alami,lalu pak ustadz berkata,”Bagus, jadi kamu sekarang sudah yakin dan melihat keadilan Allah pada makhlukNya ya....! “ya pak ustadz jawabku.Dan pak ustadz malah memujiku,”kamu benar anak yang shaleh!”,”tidak pula begitu pak”jawabku berbasa basi. “Pak Ustadz hanya ingin berpesan satu hal sama kamu,”Mario teguh berkata, Apapun yang kamu pikirkan, apapun yang kamu rasakan,dan apapun yang kamu kerjakan, sempurnakanlah dengan do’a.” Hatiku sekarang benar – benar puas dengan jawaban atas semua pertanyaanku selama ini. sebelum tidur aku berdo’a , agar Allah selalu menjagaku dan melindungiku.”Aamiin”
******
Hari demi hari silih berganti, minggu demi minggu, dan seterusnya, tahun demi tahun bergulir maju, kehidupan berjalan begitu cepat. Sekarang aku telah tumbuh remaja,siap mencari jati diri dan tujuan hidup yang sebenarnya. Banyak orang salah langkah , hingga ia tersesat dalam pergaulan bebas, apalagi pengaruh teman .Banyak orang yang meniru kehidupan orang-orang yang telah populer. Sebagian tidak sesuai dengan kehidupannya. kehidupan remaja ini adalah ibarat antara syurga dan neraka. Siapa yang tidak dapat melewatinya dengan baik ,maka ia akan jatuh kelembah kehinaan yaitu neraka.
“Yah, walaupun aku sudah tumbuh remaja, aku ingin ayah dan ibu selalu membimbing dan menasehatiku, agar aku tidak terbawa oleh arus kenistaan, ya yah…!“ ”Tentu anakku” kata ayah sambil merangkulku. “Assalaamu’alaikum” terdengar ucapan dari luar. Aku bergegas keluar dan melihat paman, adik ayah, menggiring seekor kerbau yang baru berumur satu tahun. Ternyata paman berniat menyerahkan kerbaunya pada ayah, aku senang memiliki kerbau, yang bisa membantuku membajak sawah. Keesokan harinya, ayah ingin membajak sawah dengan kerbau baru, pemberian paman padanya. Tapi ia harus pergi, ada pekerjaan kantoran yang harus ia selesaikan. Untuk itu, ayah mempercayai pengolahan sawah kepada Pak Salim, selama ia tidak ada di rumah, karena ia harus pergi ke luar kota. Pak Salim adalah tetanggaku yang agak konyol, lucu, culun, yaa… rada-rada idiot begitu ! Tapi ia orangnya jujur dan amanah, sehingga orang banyak yang mempercayai sawah dan ternaknya pada pak Salim.
Kemudian aku dan pak Salim pun pergi ke sawah, dengan mengiring kerbau pemberian paman itu. Namun di tengah perjalanan, kami bertemu dengan anak-anak baru gede (ABG) yang lagi berkumpul, lalu terdengar bisikan kecil dari salah seorang mereka,”Ayah dan anak itu sama bodohnya ya..!, kerbaunya ada, tapi tidak ditunggangi, mereka rela berjalan, ha..haa, bodohnya mereka..!” kata anak itu sambil menunjuk kearah kami, tapi aku dan pak Salim tak memikirkan itu. Setelah sampai di sawah kami mulai membajak. Menjelang pekerjaan selesai, pak Salim berkata, ”Nak, pulang nanti kamu yang tunggangi kerbau itu ya, agar anak-anak itu tidak mengolok-olokan kita lagi”. Akhirnya kami pulang. Aku menunggangi kerbau, sedangkan pak Salim berjalan disampingku. Saat tiba ditempat yang sama, ada seorang ibu bersama temannya, melihat kearah kami dan ia berkata ,”hai teman-teman, lihat anaknya itu, orang tuanya dibiarkan berjalan sedangkan ia enak–enakan duduk di pundak kerbaunya, dasar anak durhaka..!”, aku mau marah tapi pak Salim menyabarkanku. Setelah sampai di rumah aku berkata pada pak Salim,”Sebaiknya bapak yang tunggangi kerbau, biarlah aku yang berjalan, aku nggak mau lagi dibilang anak durhaka, sama ibu kemaren”, ”baiklah” jawab pak Salim.
Keesokan harinya kami bermaksud lagi ke sawah untuk menaburkan benih yang telah disiapkan pak Salim, dan rencana kemaren tetap kami laksanakan, agar olok-olokan orang itu hilang pada kami. Pak Salim yang menunggangi kerbau, sedangkan aku berjalan di sampingnya. Setelah sampai di depan rumah pak Syawal, dan ia berkata,”Salim .!, anak itu telah lelah berjalan, sedangkan kamu malah enak-enakan duduk di atas punggung kerbau itu, Salim..,Salim...!” ejeknya sambil menggelengkan kepala dengan rambut yang sedikit botak. Namun kami tidak menghiraukan perkataan pak Syawal, kami tetap melanjutkan perjalanan. Setelah tiba di sawah, pak Salim kelihatan lesu, dan tampak memikirkan sesuatu, ”kenapa pak, kok termenung, apa yang bapak pikirkan?”,tanyaku sambil keheranan. Tapi pak Salim tidak mendengarkanku, lalu…”oh iya, bapak masih punya cara satu lagi untuk mengatasi mereka, agar kita tidak dicaci dan diolok-olokan terus sama mereka” kata pak Salim yang membuatku kaget,”apa itu pak?” tanyaku ,”begini, yang pertama, tidak seorang dari kita yang menunggangi kerbau, tapi kita dibilang bodoh, yang kedua kamu yang menunggangi, lalu dikatakan anak durhaka, yang ketiga bapak yang tunggangi, namun pak Syawal mengejek bapak. Tinggal satu jalan lagi, kita tunggangi kerbau kita berdua, pasti ini berhasil” kata pak Salim dengan percaya dirinya. Aku tidak yakin, tapi untuk menghargainya, aku mau saja. Setelah sore datang, kami pulang dengan taktik pak Salim yang baru “katanya sih !”. Setelah sampai di depan warung kopi, terlihat orang lagi ramai dalam rumahnya, aku mengira ada acara arisan pemuda, tapi ketika kami lewat semua mata mereka terpana melihat kami, pak Salim yakin orang – orang itu bingung, mau menyalahinya apalagi, pak Salim merasa menang..! setelah kami lewat, mereka semua tertawa,”ha…haa…., kerbau kecil itu ditunggangi berdua, dasar…! anak itu dan Salim sama kejamnya, tak tahu belas kasihan. Wajah pak Salim yang percaya diri tadi, berubah jadi merah malu tidak kepayang.
Setelah sampai di rumah, ternyata kami melihat ayah telah pulang. “Kapan ayah pulang?” tanyaku, ”Tadi siang” jawab ayah. Lalu pak Salim menceritakan kepada ayah semua kejadian yang ia alami denganku, selama ayah pergi. Mendengar cerita itu, ayah tertawa terbahak-bahak,”ha..haa…!”. Aku dan pak Salim hanya diam dan merasa malu, aku merasa ini konyol, tapi kalau aku mengingat-ingatnya aku juga tertawa sendiri dibuatnya. Ini menjadi pengalaman yang menarik bagiku dengan pak Salim, yang culun dan lugu, sekaligus pengalaman yang paling konyol. ”ha..ha... pak Salim , pak Salim!!!“. Setelah suasana kembali hening, lalu ayah berkata,
” Pak Salim, Ada hikmah dan pelajaran yang dapat saya ambil, mendengar cerita bapak tadi, bahwa Kita tidak akan mudah mendapatkan ridha atau kata sepakat dari manusia, karena manusia itu memiliki sifat yang berbeda dan jumlah yang banyak .Beda manusianya, pasti beda pula perangainya, sehingga manusia itu memiliki pandangan yang berbeda pula. Tapi Allah Maha Esa, Maha Mulia, Maha segalanya, pandangannya hanya pada iman dan ketaqwaan hambanya.”
Jadi dapat kita simpulkan “Lebih mudah mencari ridha Allah dari pada mencari ridha dari manusia, Untuk itu marilah kita selalu berbuat dan bertingkah hanya untuk mencari keridhaan Allah semata.” Ulas ayah pada kami. Lalu aku termenung sendiri, “ Betul juga kata ayah tadi, aku dan pak Salim hanya berusaha agar orang-orang tidak lagi mengolok-olokkan kami, berbagai cara kami lakukan, agar dipandang baik oleh mereka, walaupun itu konyol.. Tapi kami lupa melakukan apa yang terbaik bagi Allah. Sekarang saya telah mengerti, bahwa kesalahan orang sekarang itu adalah “Hanya ingin dipandang baik dimata manusia, dimana ridhanya manusia itu tidak akan pernah ia dapatkan, ketimbang dipandang baik dihadapan Allah, Yang ridhaNya lebih mudah untuk didapatkan.”
******
Selasa, 07 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar